KARIMUN, PELITA KEPRI -Tidak tinggal diam, Nelayan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Baran Sejahtera, Kuda Laut bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) akan menggelar aksi unjuk rasa atas sita eksekusi lahan yang dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri Tanjungbalai Karimun, Jumat (17/11/2017) lalu.
Hal itu dibenarkan Edwar Kelvin R, SH kuasa hukum para Nelayan, menurutnya aksi unjuk rasa yang akan digelar Senin, 04 Desember 2017 nanti untuk menyampaikan aspirasi para nelayan yang menurutnya terdzolimi dengan terbitnya sertifikat nomor 00052 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karimun.
“Permasalahannya kan sudah jelas, diatas sertifikat itu faktanya adalah pantai dan laut yang sudah berpuluh-puluh tahun digunakan nelayan untuk memenuhi kebutuhannya, apalagi dengan putusan Sita Eksekusi yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Karimun. Nah, atas dasar itulah nelayan ingin menyampaikan aspirasnya kepada pemangku kebijakan yang ada di Kabupaten Karimun seperti BPN Karimun, PN Karimun dan Pemerintah Daerah, yakni Bupati Karimun.” ujar Pengacara Muda ini, Rabu (22/11/2017).
Lanjutnya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia akan turut turun bersama Nelayan. Edwar-pun mengaku takjub dengan perjuangan Mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam PMII. Ia mengaku semakin bersemangat memperjuangkan hak-hak nelayan hingga masalah tersebut selesai.
“Alhamdullilah, sahabat masyarakat, PMII turut ambil andil memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya Nelayan. Karena bagaimanapun, bukan hanya PMII saja, namun seluruh masyarakat Karimun harus ambil andil memperjuangkan hak nelayan, tidak dapat turun aksi setidaknya membagikan berita ini dimedia sosial hingga pusat tahu ada yang tidak beres dalam masalah ini,” tegas Edwar lagi.
Edwar juga mengajak warga lainnya agar turut dalam aksi unjuk rasa pada 4 Desember 2017 nanti, dimulai dari Kantor BPN Karimun, PN Karimun hingga Kantor Bupati Karimun.
“Aksi Demo atau Unjuk Rasa dimulai pukul 09.00 Wib dengan titik kumpul Kantor Bupati Karimun, orasi pertama di Kantor BPN Karimun, lalu bergeser ke PN Karimun dan diakhiri di Depan Kantor Bupati Karimun,” Jelasnya.
Dalam demo tersebut, kata Edwar lagi. Nelayan akan menyampaikan tuntutannya, yakni membebaskan Pantai dan Laut Karimun dari Mafia-mafia.
“Bebaskan Pantai dan Laut di Karimun dari Jarahan Mafia-Mafia, mengutip kata perjuangan Wiji Thukul, Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” tegas Edwar.
Ditempat yang sama, Aal Aulia Wakil Ketua I, PMII Karimun mengatakan pihaknya akan memperjuangkan kepentingan Nelayan, dia menduga permasalahan lahan pantai dan laut yang kini dimiliki individu itu dilakukan oleh oknum-oknum Mafia dan pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Melihat permasalahan pantai dan laut yang telah terbit sertifikatnya, saya duga dilakukan mafia dan tidak bertanggungjawab. Saya sangat prihatin atas nasib nelayan karena mereka hidup dari hasil melaut, Padahal menurut Perpres Tahun 2016 dan UU tentang Kawasan Lingkungan Hidup, 100 meter dari bibir pantai tidak bisa dijadikan hak milik.
Meskipun dikuasai negera, didalam UU tersebut boleh digunakan apabila sudah secara turun menurun dan demi kepentingan umum. Sedangkan nelayan ini untuk kepentingan umum, bukan pribadi,” tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Indra, ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurutnya pihak atau instansi terkait harus jeli melihat status kepemilikan lahan tersebut.
“Riwayat Kepemilikan Pengusaan Lahan dari bibir pantai hingga kelaut perlu ditinjau ulang,” ujar Indra yang juga berjanji akan membawa permasalahan tersebut ketingkat Nasional.
Selain PMII, Yusril warga Meral kepada wartawan menyebut akan turut andil dalam aksi unjuk rasa itu.
“Kami masyarakat bukan bodoh, manalah bisa pantai dan laut milik pribadi. Sekarang nelayan nak mencari ikan kemana?, mereka tinggal dipesisir pantai, mencari ikan dilaut.
Kalau pantai dan laut mereka sudah terjual kepada oknum pengusaha, mereka mau hidup dari mana, saya juga berpesan kepada masyarakat lainnya jangan tinggal diam. Jangan berasumsi demi pembangunan, pembangunan itu harus sejalan dengan kemanusian dan kesejahteraan rakyat kecil,” tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Azis, Ketua nelayan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Baran Sejahtera mulai pecah ketika menyadari dirinya telah dizolimi, Azis bersama 50 nelayan lainnya merasa tergusur dari negerinya sendiri setelah adanya putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun yang memetuskan dirinya dan nelayan lainnya untuk meninggalkan wilayah tagkapan mereka yang selama 40 tahun lamanya sudah ditempati.
“Laut ini kan milik negara pak, kenapa kami harus digusur, padahal sudah puluhan bahkan sudah 40 tahun laut ini menjadi sumber kehidupan kami pak,”kata Azis berlinang air mata, Senin (20/11/2017) lalu di daerah laut Baran yang biasa di gunakan mencari nafkah.
Di ketahui, salah satu pengusaha di Karimun (AK) di klaim telah memiliki bibir pantai yang luasnya hingga 4 hektar dan terakhir telah dijualkan kepada Rinto, pemilik perumahan LBP Batu Lipai, Tanjung Balai Karimun.
Para nelayan semakin kecewa dengan putusan tersebut, banyak warga mempertanyakan legalitas terbitnya sertifikat atas nama Rinto yang dapat memiliki laut untuk atas nama pribadi.
“Ini laut loh pak, kalau memang dia (Rinto-red) dapat buat sertifikat kenapa kami warga negara Indonesia asli tak dapat buat pak. Ini kan laut, milik negara, apa kami bukan warga negara Indonesia pak,” katanya semakin kecewa.
Dia bersama temannya bersumpah akan tetap mempertahankan laut tersebut sebagai sumber kehidupan mereka, kesepakatan tersebut telah diambil bersama melihat seluruh aparat hukum dianggap tidak ada yang berpihak terhadap mereka.
“Sekalipun penegak hukum tidak berpihak kepada kami tak masalah pak, hidup mati kami akan kami perjuangkan, laut ini adalah laut negara Indonesia, kami masih warga negara Indonesia yang memiliki hak itu. Jadi matipun akan kami perjuangka,”tambah Azis yang diamini puluhan nelayan lainnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, Sertifikat hak milik dengan Nomor regestrasi Nomor 00052 atas nama Rudi salah satu dasar Damianus Alis Lie Bun Kui Alias Akui mengeluarkan surat pengosongan lahan dengan Nomor 01/X/2016 pertanggal 17 Oktober 2016 yang lalu.
Surat pengosongan lahan ini ditujukan kepada Jamal, Iwan, A Gafar dan beberapa nelayan yang masih menempati lahan seluas 19.972 M2 di Baran I kuda Laut RT/RW 01/03 Kelurahan Baran Timur, Kecamatan Meral.
Nelayan yang sudah turun temurun tinggal dipantai itu melakukan perlawan sampai berujung ke sidang perdata dengan Nomor Regestrasi 18/Pdt/2017/PN Tbk. Diduga, sebelum terbitnya sertifikat, ada transaksi jual beli diatas tanah yang nyatanya pantai dan laut itu.
Mengacu kepada Kepress Nomor 32 Tahun 1990 pasal 14 dan Peraturan Presiden RI Nomor 51 tahun 2016, ini tanah dikuasai Negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum bukan pribadi. Pantai adalah daerah pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan, sedangkan Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pengaturan mengenai pemanfaatan wilayah dan pulau-pulau kecil di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terakhir telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 serta tidak terlepas pula dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yakni hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
(red/PELITA KEPRI)