Dugaan Persekusi Saat Car Free Day, Bukti Terjadinya Dekadensi Moral

Pelita Kepri, Opini – Saat ini Media Sosial (Medsos) dihebohkan dengan kejadian dugaan tindakan intimidasi, menakut-nakuti dan dugaan tindakan persekusi lainnya oleh sekelompok orang dengan kostum tagar tertentu terhadap seorang wanita dan anaknya yang memakai kostum dengan tagar yang berbeda di Car Free Day hari Minggu kemarin di Jakarta.

Dalam video yang beredar luas di masyarakat, tampak seorang ibu dan anaknya diolok-olok, diejek dan diintimidasi oleh segerombolan orang hanya karena berbeda kaos yang dikenakannya. Si ibu dan anaknya terlihat sangat ketakutan. Bahkan si anak pun terlihat menangis.

Tindakan dugaan intimidasi dan persekusi yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut pun mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Diberitakan di beberapa media online di Jakarta, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Wakil Ketuanya, Rina Pranawati pun menyebut bahwa tindakan dugaan intimidasi dan persekusi itu sangat berdampak pada psikologis anak. Kekerasan psikologis justru berdampak lebih parah dibanding kontak fisik. Menurutnya, efek tersebut dapat menimbulkan trauma yang serius.

Baca Juga :  Sambut Ramadan, Presiden Jokowi Ajak Umat Jaga Toleransi dan Kerukunan

Mengapa tindakan dugaan persekusi saat car free day ini dapat terjadi? Penulis melihat bahwa ini adalah buah dari pemikiran yang tidak “love oriented”. Para pelaku kehilangan cinta kasihnya. Euforia Pilkada DKI dengan segala dinamikanya kemarin dirasa berlanjut di episode berikutnya, jelang Pilpres 2019.

Jelang Pilpres 2019 kita kembali dihadapkan pada situasi yang memaksa kita seolah-olah terbagi dalam dua kubu. Kubu A dan kubu B. Fanatisme yang berlebihan pun muncul terhadap tokoh tertentu dan membenci tokoh lain beserta pengikutnya pada saat yang bersamaan.

Ini adalah manifestasi riil dari “ego sektoral” yang men “the other” kan orang atau kelompok lain yang berseberangan pilihan politik dengan mereka.

Baca Juga :  Pencak Silat dan Gasing Semarakan Pawai Ta'ruf MTQ Bintan ke 8

Inikah yang kita harapkan dalam kehidupan demokrasi kita? Bukankah kita seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam berdemokrasi? Tindakan-tindakan intimidasi, menakut-nakuti, menekan dan tindakan-tindakan persekusi terhadap manusia lainnya adalah jelas menciderai jati diri manusia itu sendiri. Pada titik ini, para pelaku mengalami dekadensi moral. Tidak terpikir oleh mereka bagaimana seandainya hal itu terjadi para ibu mereka sendiri?

Meminjam istilah Fritjoff Schuon, seorang filsuf parennial terkenal yang mengatakan ” Terkadang manusia (human) dengan sadar menjadi sub-human (kehilangan kemanusiaannya) dan mengapungkan diri pada dimensi kebinatangan dengan melakukan tindakan kekerasan (fisik maupun psikologis) atas manusia lainnya. Dalam situasi ini, penulis menilai hal ini sangat mengerikan. Konon, Setan pun tidak mau menggangu sesama setan. Setan hanya mau mengganggu manusia.

Pilihan politik yang berbeda adalah keniscayaan dalam kehidupan demokrasi yang sehat. Dan di negara kita hal itu dijamin oleh konstitusi. Namun itu jangan membuat kita berseteru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedewasaan berdemokrasi harus kita tumbuhkembangkan untuk menjamin berlangsungnya hak-hak konstitusional kita.

Baca Juga :  Lagi-Lagi 1 Orang Terkonfirmasi Covid-19 Dinyatakan Sembuh di Tanjungpinang

Menjelang pesta demokrasi 2019, kita tidak ingin terjadi lagi tindakan-tindakan yang serupa dengan kejadian dugaan intimidasi dan persekusi seperti itu. Mari saling menghormati pilihan politik masing-masing sebagai sesama anak bangsa. Pesta demokrasi sejatinya adalah untuk membesarkan hak seluruh rakyat yang berdaulat. Bukan malah mengkerdilkannya.

Penulis: manurung