Pelita Kepri, Tanjungpinang – Gedung Daerah merupakan bangunan peninggalan residen Belanda yang dibangun pada awal tahun 1880. Arsitektur bangunan Gedung Daerah disebut-sebut merupakan perpaduan antara gaya bangunan Romawi dan Yunani. Meski telah beberapa kali direnovasi, namun bentuk asli bangunan hingga saat ini tidak banyak berubah.
Dalam catatan sejarah setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Gedung Daerah pernah menjadi kantor pusat pemerintahan Gubernur Riau yang pertama S.M. Amin Nasution sebelum pusat pemerintahan Provinsi Riau dipindahkan ke Pekanbaru. Saat ini Gedung Daerah digunakan sebagai kediaman Gubernur Kepri, menerima tamu-tamu resmi daerah, dan tempat pelaksanaan berbagai kegiatan resmi pemerintahan lainnya.
Gedung Daerah Tanjungpinang merupakan bangunan cagar budaya yang banyak menyimpan catatan sejarah. Menurut sejarawan Kepri Aswandi Syahri, selain menjadi kediaman keresidenan Hindia Belanda dan Jepang, Gedung Daerah juga merupakan tempat penyerahan kedaulatan Indonesia dari residen Hindia Belanda terakhir Dr. Waardenburg pada tahun 1950. Di Gedung Daerah ini pula Wakil Presiden RI Adam Malik pernah menginap ketika berkunjung ke Tanjungpinang. Beberapa mantan presiden RI seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Abdurahman Wahid, dan tokoh-tokoh penting pernah mengunjungi Gedung Daerah karena memang gedung tersebut merupakan tempat untuk menerima tamu daerah.
Gedung Daerah Tanjungpinang tidak hanya berfungsi sebagai kediaman Gubernur Kepulauan Riau saat ini, namun gedung tersebut memiliki nilai historis yang tentunya memiliki kesakralan sebagai tempat istimewa karena nilai sejarah, perjuangan bangsa, karakter atau ciri suatu daerah, nilai seni, nilai budaya, serta fungsinya. Oleh sebab itu sebagaimana bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah dan berfungsi sebagai tempat kediaman presiden, gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan di tempat itu juga dibatasi.
Meski di Tanjungpinang kini telah banyak bangunan milik pemerintah dan swasta lainnya yang mungkin lebih besar dengan arsitektur modern, namun hingga kini tampilan Gedung Daerah Tanjungpinang masih menyimpan pesona dan nilai-nilai tersendiri. Terlebih dengan statusnya sebagai benda cagar budaya yang juga difungsikan sebagai kediaman Gubernur Kepulauan Riau, tentu tidak sembarang orang bisa memasuki Gedung Daerah.
Tanpa perlu mengetahui sejarah dan fungsinya, nilai-nilai dan kesakralan Gedung Daerah Tanjungpinang mampu terlihat atau terasa secara nyata. Ada perasaan kagum, takjub, dan takzim ketika melihat atau melintas di depan Gedung Daerah. Tapi mungkin itu hanya sekadar perasaan yang pernah penulis rasakan, dulu. Kini meski masih tetap merasakan nilai-nilai dan rasa tersebut, penulis merasa seolah ada yang salah dari penggunaan Gedung Daerah Tanjungpinang.
Bangunan peninggalan sejarah, benda cagar budaya, dan juga tempat kediaman Gubernur Kepulauan Riau yang lazimnya dipergunakan untuk menerima tamu-tamu daerah, pelantikan pejabat daerah, dan penyelenggaraan kegiatan kenegaraan lainnya itu kini seolah beralih dengan banyak fungsi. Pertunjukan musik, senam massal, dan bahkan terakhir pada Jumat 13 April 2018 lalu Gedung Daerah sempat dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan sejenis perkumpulan kendaraan roda empat tertentu. Menurut informasi terakhir yang penulis terima dari kedai kopi, panitia reuni suatu SMP Negeri di Tanjungpinang bahkan juga akan melaksanakan kegiatan reuni di Gedung Daerah. Bagi penulis berbagai kegiatan tersebut seolah ingin menggerus perasaan takzim yang pernah penulis rasakan dulu ketika melihat Gedung Daerah. Seolah tak ada lagi pembatasan pemanfaatan Gedung Daerah yang berstatus sebagai bangunan cagar budaya. Menurut penuturan orang-orang tua, dulu Gedung Daerah Tanjungpinang hanya dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Seperti MTQ, ceramah agama, dan kegiatan formil pemerintahan lainnya. Tidak semua kegiatan keramaian dapat dilaksanakan di Gedung Daerah.
Mendengar akan ada acara reuni sekolahan dilaksanakan di Gedung Daerah, penulis langsung berpikiran alangkah istimewanya sekolah tersebut hingga dapat melaksanakan kegiatan reuni di Gedung Daerah. Asumsi dan dugaan melayang kemana-mana, sampai pada bisikan lembut mungkin ada pejabat atau tokoh di daerah yang merupakan alumni SMP negeri tersebut. Ada kesan kegiatan apa saja bisa dilaksanakan di Gedung Daerah Tanjungpinang, dan hal ini menimbulkan rasa penasaran. Rasa penasaran itu lantas membawa penulis untuk iseng-iseng mencari tahu apakah ada peraturan, atau ketentuan yang mengatur pemanfaataan benda cagar budaya seperti Gedung Daerah Tanjungpinang. Rasa penasaran itu sementara membawa penulis kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Melihat pada kriteria penetapan bangunan cagar budaya yaitu : berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, Gedung Daerah yang dibangun pada tahun 1880 itu sangat pantas menyandang status sebagai bangunan cagar budaya.
Undang-undang tentang cagar budaya itu ternyata telah mengatur pemanfaatan benda cagar budaya. Pasal 85 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Selanjutnya pasal 86 mengatur bahwa pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan. Tentunya pemanfaatan bangunan cagar budaya ditujukan untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Benda cagar budaya sesuai undang-undang itu jelas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, namun tetap dengan batasan-batasan. Gedung Daerah Tanjungpinang merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang kepemilikannya berada di tangan pemerintah, dan difungsikan sebagai kantor pemerintahan seperti Istana Negara, Gedung Bappenas, kantor KPU Pusat, Gedung Negara Grahadi sebagai kediaman Gubernur Jawa Timur, kantor Gubernur Jawa Timur, Gedung Pakuan sebagai kediaman Gubernur Jawa Barat, dan banyak lainnya.
Menurut seorang mantan pengurus rumah tangga Gedung Daerah di era Gubernur Kepri almarhum H. Muhammad Sani, penggunaan dan pemanfaatan Gedung Daerah pada masa itu memang dibatasi untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Antara lain pelantikan bupati/wallikota atau pejabat daerah, kegiataan keagamaan, menerima tamu-tamu daerah, atau kegiatan kebudayaan. Pembatasan itu, didasarkan pada pemikiran bahwa Gedung Daerah Tanjungpinang adalah bangunan cagar budaya yang tentunya harus dipertimbangkan dengan lebih cermat. Sebab pelaksanaan kegiatan berskala massal dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan cagar budaya. Disamping itu, hal lain yang juga dijadikan pertimbangan ketika itu adalah estetika pemanfaatan Gedung Daerah yang juga berstatus sebagai kediaman resmi gubernur. Dan ketika menjabat sebagai gubernur Kepri, almarhum H. Muhammad Sani memang bertempat tinggal di Gedung Daerah.
Dengan statusnya sebagai bangunan cagar budaya, dan kediaman resmi gubernur, penulis berharap semoga pemanfaatan Gedung Daerah dapat lebih selektif dengan mempertimbangan faktor estetika hingga tidak sampai mengurangi nilai-nilai yang telah melekat pada bangunan tersebut. Terlebih jika acara reuni suatu sekolah dilaksanakan di Gedung Daerah, tentu pengurus atau pejabat yang berwenang mengeluarkan izin pemakaian Gedung Daerah juga harus bersedia seandainya seluruh sekolahan di Tanjungpinang akan melaksanakan kegiatan reuni di tempat yang sama. Klub-klub motor atau komunitas lain juga akan menggunakan tempat yang sama, termasuk kemungkinan akan ada event organizer yang akan menampilkan artis dangdut papan atas di Gedung Daerah. (*)
Oleh: TEGUH SUSANTO ( WARGA TANJUNGPINANG)