Doa Mama yang Didengar Tuhan

Oleh : Takdir Siringo

Dari kecil saya tak begitu mengenal bapa saya. Kami bersaudara bertumbuh tanpa perhatian dari seorang bapa. Baru kelas tiga SD, baru bertemu beliau. Karena susahnya ekonomi pada masa itu. Bapa harus pergi mengadu nasib ke negeri orang ke Pekanbaru. Memang setelah dapat kerja dan menerima gaji. Bapa mengirimkannya.

Waktu itu tak semudah sekarang untuk berkomunikasi. Dalam mengirimkan kabar, mama mengirimkan surat melalalui pos, dan bapa akan membalaskan. Butuh berminggu-minggu balasan itu akan datang.

Hingga suatu hari, tak disangka-sangka sudah dalam waktu yang sangat lama. Bapa saya tak pulang. Siang itu, pas balik dari kebun. Kami kaget melihat seorang bapa berdiri di pintu rumah tinggi dengan wajah ditumbuhi jambang. Terus kami takut dan berhamburan. Lalu abang saya pergi berlari memanggil mama, yang sedang berada dirumah bibi. Jaraknya hampir lima ratus meter.

“ma.., ma.., ada seorang bapa-bapa berdiri didepan rumah kita. Oranganya tinggi berjambang” dengan suara tersengal karena berlari.

Mama pun bergegas menuju rumah. Begitu melihatnya.
“itu bapa nak. Sinilah bukain pintu” kata mama. Bapa sambil menangis mengajak dam memeluk kami. Dan beberapa minggu dikampung. Bapa pun kembali lagi ke tanah perantauannya.

Baca Juga :  Kelurahan Toapaya Asri Nominasi Anugerah Desa PAMAN

Kami bersaudara empat orang. Yang paling bonton perempuan. Adik perempuan kami sedikit manja, kepada ketiga abang-abangnya. Contohnya saja saat makan, harus disuapin sendiri oleh abang-abang yang disukainya. Begitu juga saat tidur. Harus dibuatin cerita. Ya, sebagai abang harus pandailah mengarang cerita.

Pekerjaan orangtua kami adalah petani manual. Asli mengandalkan fisik dengan menggunakan garpu dan cangkul. Dari menggarap sampai mengolah tanah siap tanam. Jadi bukan semaju sekarang dengan peralatan teknologi tepat guna atau mesin traktor modern. Kami sudah terbiasa mandiri, sekaligus membantu mama.

Suatu hari. Abang saya yang paling besar mendaftar masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ada biaya harus dipenuhi, bila saya estimasikan biaya pendaftarannya waktu itu Rp 150.000. Itu berupa uang pendaftaran, baju dinas, sepatu, buku, tas, dan menebus izasah SD.

Untuk mencari uang sebanyak itu, mama lumayan susah. Mama saya sudah mulai mengeluh. Tak tahu kenapa, bapa saya waktu itu terlambat mengirim uang buat kebutuhan kami.

Untuk uang pendaftaran untuk sekolah abang saya harus dipenuhi dengan waktu yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Hingga waktunya tiba.

Baca Juga :  Orangtua Neiysa, Penderita Hidrosefalus ' Harapkan Anaknya Sembuh'.

Namun sebelumnya mama sudah mengirimkan surat dan plus foto kami berempat dengan mama lewat pos. Sekalian mama mengingatkan bapa tentang keluarganya. Mau dihubungi tak bisa, karena belum ada henphone pada waktu itu.

Mama tak putus asa, mama tetap berdoa dan berharap akan mendapatkan uang. Hingga suatu hari mama saya mengajak kedua abang saya. Mencari kayu untuk masak. Di lahan bekas yang terbakar, sambil mencari kayu mama saya hatinya sedikit galau.

Dalam benahnya “anak saya tak mungkin tak sekolah” sambil mengumpulkan kayu-kayu itu.

Niatnya mengumpulkan kayu-kayu itu sebanyak-banyaknya. Siapa tau ada orang yang mau beli. Dan saat menjajal lahan terbakar itu. Dilembah lahan itu dari kejauhan jarak ratusan meter, tampaknyalah menggantung berwarna hitam dipohon yang agak melengkung. “Besar sekali, seukuran lemari” cerita mama.

Mama penasaran, ia lalu semakin mendekat. Sebelum mendekatinya. Ia memanggil kedua abang saya. Ternyata, yang menggantung itu adalah lebah hutan. Ibu saya mendengar suara mengerang, dan dalam benahnya “ini madu”.

Pada sore hari itu pun mama memberitahukan dengan ompung tentang lebah yang ditemukannya. Dan pada malam besoknya, kami bergegas mempersiapkan perlengkapan kami seperti: karung dan baju-baju bekas. Lalu sampailah kami di lokasi. Ompung sangat senang pada waktu itu. “wahhh besar kali ini” katanya sambil terlihat raut wajah senang. Dan terdengar kawanan lebah-lebah hutan itu mengerang.

Baca Juga :  Ketua Umum IWO : Wartawan Akan Menjadi Mahluk yang Berbahaya Apabila di Biarkan

Ompung bergegas membersihkan lokasi. Lalu Dia memantik mancis ke baju-baju bekas itu dan mengarahkan kepulan asap-asap kekawanan lebih itu. Dan kawawanan lebah-lebah itupun bergeser kelengkukan pohon-pohon itu. Kesempatan kamilah membantu ompung mengambil sarang lebah yang berisi madu dan larvanya.

Wahhh! semakin bertambah lagi semangat ompung malam itu, penuhlah goni-goni yang kami bawa. Sampai dirumah, kami sudah ditunggu mama dirumah. Lalu usai diperas, dapatlah madu lebah itu berkisar dua belas botol. Ditambah larvanya yang kami nikmati malam itu.

Saya hampir lupa. Madu-madu itu dijual dengan harga berapa perbotol. Yang paling penting saya ingat. Dari hasil penjualan madu-madu, tampak mama semringah dan setelahnya pergi ke pasar untuk membeli belanja perlengkapan abang saya.